Menyelami Dunia Virtual Metaverse
- Daffa Rianto
- 2 Des 2021
- 3 menit membaca
Beberapa waktu yang lalu, dunia teknologi dihebohkan dengan beredarnya kabar dari Meta, induk perusahaan yang menaungi Facebook, Instagram dan Whatshapp. Diawali dengan kabar dari Bos Facebook, Mark Zuckeberg, yang mengumunkan pergantian nama Facebook menjadi Meta pada Kamis (28/10). Penggantian nama tersebut berdasarkan tujuan Facebook untuk menjadikan platformnya sebuah Metaverse.

Apa itu Metaverse?
Istilah "Metaverse” diciptakan oleh penulis fiksi ilmiah Neal Stephenson dalam novelnya berjudul Snow Crash yang dirilis pada 1992. Metaverse adalah dunia virtual yang akan membawa internet menjadi terasa nyata. CEO Meta, Zukeberg menjelaskan Metaverse yang ingin ia ciptakan yakni sebagai sebuah lingkungan virtual yang bias dimasuki oleh penggunanya-dibanding hanya melihat dilayar.
Teknologi Metaverse yang akan disajikan disebut sebagai sebuah dunia tanpa batas, di mana para penggunanya dapat berinteraksi secara virtual, melakukan pertemuan, menghadiri konser bahkan jual beli. Di dalamnya, para pengguna juga akan dibebaskan untuk memilih representasi visual (avatar) sesuai dengan keinginan.

Seluruh kecanggihan tersebut dapat dirasakan, setidaknya dengan mengombinasikan lima teknologi sekaligus, yakni media sosial, game online, augmented reality (AR), virtual reality (VR) dan cryptocurrencies. Kelima aspek tersebut dapat mengintegrasikan para penggunanya ke dalam sebuah dunia imajinasi yang interaktif dan real time.
Kenapa jadi terkenal?
Sejak beberapa tahun lalu, banyak orang yang membicarakan dunia digital dan augmented reality (AR). Namun biasanya ini hanya akan terjadi sebentar lalu menghilang.

Akan tetapi, hal ini berbeda dengan Metaverse. Di mana terdapat banyak investor kaya dan perusahaan teknologi lainnya yang berbondong-bondong untuk tidak mau ketinggalan ambil bagian.
Dunia Metaverse besutan Facebook ini bukan yang pertama dan satu-satunya perusahaan yang fokus menciptakan dunia virtual. Jauh sebelum CEO Facebook, Mark Zukeberg melakukan rebranding dan promosi dunia virtualnya, tedapat perusahaan lain yang juga telah mengembangkan Metaverse, seperti platform video game Roblox, Microsoft, Nvidia, Unity, Snap, Autodeks dan Amazon.
Ubah cara orang berinteraksi
"Metaverse juga akan mengubah cara orang berinteraksi dengan smartphone atau kacamata AR," ujar Zuckerberg.
Orang akan dapat menggunakan gerakan tangan untuk 'mengatakan beberapa kata atau bahkan membuat sesuatu terjadi dengan memikirkannya'.

Facebook telah meluncurkan perangkat lunak pertemuan untuk perusahaan yang disebut sebagai Horizon Workrooms, digunakan dengan headset Oculus VR. Headset tersebut dapat membuat pengalaman metaverse paling mutakhir di luar jangkauan banyak orang.
"Banyak pengalaman metaverse yang memungkinkan untuk berteleportasi dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya," CEO Meta.
Lupa kehidupan nyata, lebih mengedepankan dunia virtual
Di sisi lain, terdapat begitu banyak perdebatan mengenai batasan-batasan dari teknologi terbaru ini. Salah satu kekhawatiran utama adalah metaverse dapat mengarah pada akhir dari realitas seperti yang diketahui.
Ilmuan komputer yang mengembangkan sistem AR fungsional pertama, Louis Rosenberg, memperingatkan bahwa AR bisa jauh lebih buruk daripada media sosial. Menurutnya, AR dan metaverse bertujuan untuk menyajikan konten dalam bentuk yang paling alami.

“Artinya AR dapat mengubah rasa realitas kita dengan menghilangkan batasan dalam pikiran kita dan mendistorsi cara kita menafsirkan pengalaman sehari-hari,” ujar dia dalam artikel Big Think yang dikutip Kamis, 25 November 2021.
Peluang kejahatan dunia maya
Tidak hanya problem kesehatan psikologis serta fisik seperti penglihatan dan obesitas yang mengintai pengguna Metaverse, peluang kejahatan dunia maya juga semakin lebar terbuka. Matan CEO Google, Eric Schmidt mengatakan bahwa teknologi virtual akan menimbulkan tantangan terutama pada regulasi.

"Dalam beberapa tahun, orang akan memilih untuk menghabiskan waktu dengan kacamata metaverse. Tapi siapa yang menetapkan aturan?" ujarnya.
Selain itu, metaverse membawa risiko keamanan siber. Schmidt mengatakan, Facebook yang berganti nama menjadi Meta akan menjalankan sebagian besar algoritme dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) sebagai dewa raksasa palsu. Ini menurutnya, menciptakan hubungan yang tidak sehat dan para sosial.
Masih dalam tahap awal

Namun di tengah berbagai potensi dan bahaya yang ada, hingga saat ini Metaverse masih dalam tahap awal. Metaverse mungkin baru akan berfungsi secara penuh dalam beberapa dekade mendatang. Selain teknologi utamanya yang masih belum terlalu mainstream, banyak pula pertanyaan yang menyelimutinya, seperti masalah legalitas hukum.
Tetapi ada momentum yang mendorongnya, terutama pandemi COVID-19 yang telah mempercepat perkembangan metaverse. Upaya digitalisasi global mendapat dorongan besar setelah krisis kesehatan global itu membuat jutaan orang harus bekerja dari rumah.
Comments